Kamis, 02 Desember 2010

Kelompok Nekmese-Benlutu: Memacu Ekonomi dengan Ternak Babi

WAJAH Yulius Mbawo tampak cerah ketika berdiri di tepi kandang babi miliknya di Benlutu, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Sabtu (27/11/2010) petang.

Dengan bangga ia memperlihatkan babi dalam kandang itu kepada pengunjung. Bagaimana tidak bangga? Sebanyak tujuh ekor anak babi montok berusia sekitar 10 hari sedang berpacu menetek pada induknya yang pasrah.

Kemudian satu persatu mereka melepas tetek lalu tidur sambil menyandarkan moncongnya pada tetek sang induk. Yang lain lagi beranjak untuk bermain sambil berjalan bolak-balik di sekujur tubuh sang induk yang tidur menyamping. Gerakan mereka yang lincah seolah-olah mau menunjukkan kepada tuannya bahwa mereka sehat dan senang-senang saja.

Anak  dari induk ini sebenarnya bukan hanya tujuh ekor, melainkan 12 ekor. Yulius sengaja memisahkan lima ekor lainnya lalu diletakkan dalam sebuah boks supaya mereka tidak berebutan ketika menetek. Setelah tujuh yang lain puas menetek, barulah  mereka dikeluarkan dari boks dan dimasukkan ke dalam kandang untuk menetek pada sang induk.

Kandang ini berukuran sekitar 3 X 1,2 X 1,5 meter. Atapnya dari seng. Di tengah kandang dibangun sekat yang membagi kandang itu menjadi dua ruangan. Ruangan yang satu sedang ditempati seekor induk lainnya sendirian. Induk itu sudah pernah sekali beranak. Jumlahnya lima ekor. Semuanya sudah terjual dengan harga Rp 2.500.000. Satu ekor Rp 500.000 untuk pasaran Benlutu. Uangnya langsung disimpan di koperasi.

Bukan hanya Yulius yang memiliki babi seperti ini. Yulius cuma salah satu dari 16 anggota kelompok Nekmese di desa itu, yang memelihara babi yang sama. Babi itu mereka dapatkan sebagai bantuan dari PSE/Delsos Keuskupan Agung Kupang pada bulan Mei 2009.

Menurut Ketua PSE/Delsos Keuskupan Agung Kupang, Drs. Kanisius Kusi, bantuan ini sebenarnya berasal dari Gubernur NTT untuk agama-agama, termasuk untuk Keuskupan Agung Kupang. Keuskupan Agung Kupang melalui PSE kemudian menggunakan dana tersebut untuk membantu pengembangan ekonomi umat melalui usaha ternak babi.

Kelompok Nekmese Benlutu terpilih sebagai salah satu kelompok yang menerima bantuan itu. PSE bekerja sama dengan Dinas Peternakan Propinsi NTT untuk menyediakan anak babi. Sedangkan PSE terutama bertindak sebagai pendamping.

Menurut Yulius, pada awalnya mereka mendapat bantuan 32 ekor anak babi. Babi-babi itu dibagikan kepada 16 kepala keluarga (KK) anggota kelompok Nekmese. Setiap KK mendapat dua ekor.

Namun, setelah berada di tangan anggota, lima ekor mati, sisa 27 ekor, yaitu 25 ekor betina, dua ekor jantan.

"Saya pikir kematian dalam jumlah seperti itu masih wajar, apalagi kami baru memulai usaha ini," kata Yulius. Menurut dia, usaha ternak babi saat ini berubah drastis dari kebiasaan mereka sebelumnya. Kalau biasanya mereka memelihara babi lepas- lepas saja, maka kali ini mereka harus memberi perhatian tinggi, menyediakan kandang, pakan yang bagus dan obat-obatan khusus. Mereka dituntut untuk telaten.

Akibat dari perubahan ini, dari 25 ekor babi induk yang hidup, baru tujuh induk yang sudah beranak dan tiga ekor sedang bunting. Banyak dari mereka masih bingung mengenali tanda- tanda birahi dan cara mengawinkan babinya.

Namun, mereka bertekad agar babi yang mereka pelihara bisa menghasilkan dan berkembang biak. Mereka terus memperhatikan dan bertanya kepada anggota yang babinya sudah bunting dan beranak. Begitu pun menyangkut pakan.

Yulius mengatakan, meskipun masih menghadapi banyak hambatan, mereka pun mendapatkan pengalaman berarti selama memelihara babi-babi ini. Pengalaman itu membuat mereka semakin bergairah untuk beternak babi.

Misalnya, supaya babi bisa bunting dan beranak maksimal, kawinnya jangan hanya sekali. Kalau perkawinan dilakukan pagi hari, maka pada sore hari sebaiknya dikawinkan lagi, sehingga pembuahan semakin banyak. Dengan demikian, babi bisa beranak sampai 12 ekor bahkan lebih.

Mereka pun sudah bisa mengolah pakan sendiri dari bahan lokal. Menurut Yulius, pada awalnya mereka memberikan ransum kepada babi. Tetapi lama-kelamaan mereka mengolah makanan lokal untuk babi. Mereka pun menemukan ternyata biji asam sangat baik sebagai pakan babi.

Menurut Kanisius Kusi, para anggota yang mendapat bantuan babi diberi tanggung jawab untuk mengembangbiakkan babi yang diterimanya. Kalau sudah berkembang, anggota tersebut berkewajiban menggulirkan sebanyak dua anak babi kepada anggota yang belum mendapat bantuan.

Selebihnya sudah menjadi milik dan hak anggota tersebut. Mereka bisa mengembangbiakkannya lagi atau menjualnya. Hasilnya menjadi milik mereka sendiri, tetapi harus disimpan di koperasi milik mereka sendiri di desa itu.

Kapan pun uang itu bisa mereka ambil dari koperasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti membangun rumah atau menyekolahkan anak. Dengan cara itulah Keuskupan Agung Kupang (KAK), dalam hal ini PSE/Delsos (Pengembangan Sosial Ekonomi/Delegasi Sosial), membantu meningkatkan ekonomi umat Allah. (agus sape)

Keterangan Foto:
ANAK BABI -- Sejumlah anak babi sedang menetek pada induknya.

1 komentar: